PORDASI DKI JAKARTA
Kekuatan pendorong di balik industri berkuda di Indonesia, membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah!


@ PORDASI DKI Jakarta
Tentang Kami
Berbagai organisasi pacuan pada zaman kolonial Belanda terbentuk bersamaan dengan tersedianya fasilitas berupa gelanggang pacuan di beberapa kota besar di Indonesia. Perkumpulan yang terkenal pada waktu itu di antaranya: Bataviase en Buitenzorgse Wedloop Societeit (BBWS), Preanger Wedloop Societeit (PWS), Minahasa Wedloop Societeit, Minangkabau Renbond dan lain-lain. Organisasi ini hidup sampai akhir pemerintahan Belanda.
Selama Perang Dunia II dan masa pendudukan Jepang pacuan kuda di Indonesia tidak berkembang. Pada masa itu pemerintah lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada masalah kemiliteran. Fungsi kuda pada waktu itu lebih terarah kepada penggunaan untuk kepentingan perang serta menjadi alat angkut bagi kebutuhan militer bala tentara Jepang. Memasuki masa awal kemerdekaan, usaha pengembangan kuda juga kurang mendapat perhatian, karena hampir seluruh perhatian terpusatkan pada upaya mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tahun 1945.
Setelah tahun 1950, atas prakarsa para penggemar pacuan di daerah dan kota yang sebelum Perang Dunia II pernah memiliki organisasi, bersepakat untuk membentuk organisasi baru sebagai wadah kegiatan. Wadah kegiatan itu antara lain Perkumpulan Pacuan Kuda Jakarta Bogor (PPKDB) dan Perkumpulan Pacuan Kuda Priangan (PPKP).
Berdasarkan kesepakatan bersama antar berbagai organisasi pacuan kuda, sekitar tahun 1953 berdiri suatu badan yang berusaha untuk menyatukan perkumpulan-perkumpulan yang tersebar di beberapa daerah dengan nama Pusat Organisasi Poni seluruh Indonesia (POPSI) yang diketuai Letkol Singgih. Tetapi karena terjadi beberapa hambatan teknis, maka POPSI yang baru terbentuk itu tidak dapat bergerak maju dan mengembangkan diri menjadi suatu badan federasi. Namun demikian kegiatan pacuan kuda di Jawa, Sumatra, Sulawesi dan Nusa Tenggara tetap berlangsung walaupun tanpa organisasi yang mengikat satu sama lain, tiap-tiap daerah memiliki peraturan pacuan kuda. Bahkan sampai saat ini masih ada pacuan kuda tanpa pelana, yang digolongkan pacuan tradisional.
Dalam upaya menggalakkan pacuan kuda di Indonesia, para peminat dan pencinta pacuan di Indonesia menyadari perlu adanya suatu wadah yang dapat mengkoordinasikan segala kegiatan olahraga pacuan tersebut. Untuk melaksanakan hal tersebut, atas prakarsa para pengurus Perkumpulan Pacuan Kuda Priangan (PPKP), diadakan pendekatan dengan para peminat dan pencinta maupun klub-klub olahraga berkuda yang terdapat di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Umumnya mereka menyadari perlunya suatu wadah untuk melaksanakan kegiatan olahraga ini, sehingga kemudian mereka menyatakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam pembentukan wadah tersebut.
Pertemuan guna membahas pembentukan wadah organisasi olahraga berkuda di Indonesia, diawali dengan suatu eksebisi kejuaraan pacuan kuda di Bandung pada tanggal 9 Juni 1966. Pertemuan yang dihadiri oleh pimpinan atau pengurus olahraga berkuda yang berlangsung dari tanggal 11-12 Juni 1966 di Bandung, berhasil membentuk suatu wadah tunggal organisasi olahraga berkuda yang diberi nama Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PORDASI). Adapun susunan pengurusnya terdiri dari: Ketua Umum: Achmad Sham, Ketua I urusan pacuan: Drh. Sjafri Sikar, Ketua II urusan pendidikan: Trisna Wangsanegara, Sekretaris I: Mochammad Husein, Sekretaris II: Drh. Wirasmono Sk, Bendahara I: Tripomo Wongsonegoro, Bendahara II: Oete Soediro, Komisaris-komisaris: Jawa Barat: Letkol T. Suandji, Jawa Tengah: Sukardi, Jawa Timur: Kol. Soemarsono, Sulawesi Utara: Drh. Soetiman dan Sumatra Barat: Letkol S. Djoened.
Tugas utama para anggota Pengurus Pusat Pordasi hasil musyawarah I di Bandung itu ialah memperjuangkan pengesahan organisasi dari pemerintah, kemudian menyusun Anggaran Dasar dan Rumah Tangga serta Peraturan Perlombaan Pacuan Nasional yang garis-garis pokoknya disetujui dalam musyawarah.
Dalam usaha untuk lebih meningkatkan serta menarik minat para penggemar pacuan di Indonesia, pada tanggal 12-13 November 1966, untuk pertama kali diselenggarakan kejuaraan nasional pacuan kuda yang dihadiri para wakil daerah bertempat di lapangan Tanah Sareal, Bogor. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pengurus untuk membahas dan mengesahkan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga serta Peraturan Pacuan Kuda. Pada pertemuan itu panitia memberitahukan bahwa pemerintah telah mengakui PORDASI sebagai satu-satunya induk organisasi olahraga berkuda di Indonesia. Keputusan ini tertuang dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Olahraga tanggal 28 Oktober 1966 no. 016/tahun 1966. Hal lain yang menjadi kebanggaan bagi warga Pordasi ialah kesediaan Jenderal Soeharto (kini Presiden RI), menjadi Pelindung Pordasi melalui surat Departemen Angkatan Darat tanggal 7 November 1966. Beliau juga menyatakan kesediaannya namanya diabadikan pada piala bergilir bagi kuda juara Kejuaraan Nasional Pacuan Kuda Pordasi.
Pada Kejuaraan Nasional I ini keluar sebagai pemenang dan berhasil merebut Piala Bergilir Soeharto adalah kuda kelas A bernama Diana milik Bapak Jenderal Soeharto. Acara pacuan dimeriahkan dengan demonstrasi Lompat Rintangan (Show Jumping) oleh klub ketangkasan berkuda Sekardiu, Bandung. Demonstrasi lompat berkuda itu baru pertama kali ditampilkan.
Langkah selanjutnya dalam upaya meningkatkan mutu kuda pacu di Indonesia, Pordasi mengambil beberapa kebijakan antara lain menyangkut pengadaan kuda pacu yang berkualitas baik, dengan cara meningkatkan mutu kuda lokal. Sedangkan untuk memajukan pacuan di daerah, dilakukan pendekatan dengan Pemerintah Daerah agar Pemerintah Daerah membangun gelanggang pacuan kuda yang berstandar internasional.
Selama Perang Dunia II dan perang kemerdekaan, lapangan pacu tidak dipergunakan sehingga terlantar. Sesudah tahun 1950-an hanya beberapa lapangan pacu yang masih utuh dan bisa digunakan, sesudah tahun 1965-an makin berkurang hanya tinggal beberapa lapangan yang masih dapat dipergunakan, di antaranya lapangan pacu Manahan di Solo dengan jarak pacu lebih pendek dari semula dan lapangan Tegallega (Bandung). Di beberapa daerah tingkat kabupaten masih terdapat lapangan pacu ukuran pendek 400-600 meter dan berpacu cara tradisional.
Pada tanggal 7 Juni 1971 untuk pertama kali semenjak Perang Dunia kedua, diresmikan lapangan pacu berstandar internasional di Pulomas Jakarta, berjarak 1800 meter, lengkap dengan tribun penonton serta memiliki kandang untuk 800 ekor kuda, dan fasilitas lainnya. Lapangan pacu Pulomas dibangun atas dasar kerja sama antara pemerintah DKI Jakarta dengan pihak swasta Australia. Sebagai sarana kelengkapan mempergunakan alat-alat canggih dan alat totalisator pacuan kuda, yang untuk pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia, Kuda yang dipergunakan jenis thoroughbred yang diimpor dari Australia dan jenis lokal/silang. Totalisator yang dikelola secara profesional dan komersial sudah tentu menambah pendapatan negara dan merangsang para peternak dan pemilik kuda tidak hanya di daerah DKI Jakarta tetapi di seluruh tanah air untuk lebih meningkatkan produksi dan mutunya.
Manajemen pacuan Pulomas dengan nama Djakarta Racing Management (DRM-JRM) setiap tahunnya membutuhkan kuda 400-800 ekor, dengan frekuensi pacuan 2-3 kali seminggu. Kondisi ini telah memacu peternak kuda memenuhi kebutuhan akan kuda pacu, karena lambat laun kuda lokal menggantikan kuda pacu impor.
Penghapusan totalisator pada tahun 1981 memberikan dampak negatif mundurnya kegiatan pacuan kuda tidak hanya di ibu kota, tetapi dirasakan di seluruh tanah air, dan berakibat lumpuhnya usaha peternakan kuda.
Semenjak tahun 1981 pacuan kuda dilaksanakan secara non profesional, dengan imbalan uang menang jauh di bawah sebelumnya. Pada pacuan komersial besarnya uang menang diberikan dalam jumlah minimum 6 (enam) bulan biaya makan kuda. Pemberian uang menang merupakan rangsangan bagi peternak dan pemilik kuda. Pembangunan gelanggang pacuan di Jakarta mendorong berdirinya gelanggang pacuan di daerah lain. Di Sumatra Utara pada tahun 1971 dibangun gelanggang pacuan kuda di Tuntungan, kurang lebih 10 kilometer dari Medan. Jenis kuda pacu yang digunakan berasal dari Sumatra Barat (Padang Mangatas) sebanyak lebih kurang 100 ekor. Pada tahun 1970 di Padang Sidempuan diselenggarakan pacuan kuda, diikuti para penggemar kuda pacu Tapanuli Selatan: Di Padang (Sumatera Barat), dibangun gelanggang pacuan kuda berukuran internasional.

Equestrian
Olahraga berkuda yang menampilkan keterampilan, keindahan, dan ketangkasan.

Pacuan
Kompetisi kecepatan kuda di lintasan khusus dengan aturan resmi.

Berkuda Memanah
Perpaduan olahraga menunggang kuda dan teknik panahan tradisional.

Visi
Menjadi wadah pembinaan dan pengembangan olahraga berkuda di DKI Jakarta yang berstandar profesional, modern, serta berakar pada nilai budaya, sehingga mampu melahirkan atlet berprestasi dan menjadikan olahraga berkuda sebagai kebanggaan masyarakat Indonesia.
Misi
Menyelenggarakan program pelatihan berkuda yang berkualitas, membangun ekosistem olahraga berkuda yang profesional dan berkelanjutan, serta mengedukasi masyarakat tentang nilai budaya dan prestasi pacuan kuda. Selain itu, PORDASI DKI Jakarta berkomitmen memperluas jejaring komunitas, mendukung kompetisi lokal maupun nasional, dan menciptakan gaya hidup positif bagi pecinta kuda di Indonesia.
Saatnya Bergabung Bersama Kami
Jadilah bagian dari komunitas berkuda profesional dan rasakan pengalaman pelatihan terbaik bersama kami.